Santri vs Sandal
Saya yakin orang-orang yang dulu pernah merasakan
manis pahtinya mondok di pesantren, pasti sepakat bahwa pesantren merupakan
salah satu tempat yang paling mendewasakan dalam hidupnya. Bagaimana tidak, di
pesantren metode pendidikan dipaksa-terbiasa-bisa sudah sangat mengakar
bahkan sejak Nabilah JKT48 belum lahir.
Kehidupan yang serba mandiiri membuat para santri mau tidak mau harus mampu merevolusi mental yang dulunya tempe menjadi baja. Belum lagi aturan-aturan yang sangat membatasi hasrat untuk dolan, menuntut para santri harus pandai bersetrategi bagaimana bisa keluar dari rutinitas pesantren tanpa ketahuan keamanan. Jadi buat gadis-gadis yang membaca tulisan ini tentu paham, dari dulu santri itu sudah dilatih menyusun strategi. Maka pilihlah mantan santri menjadi pasangan hidup, karena dia juga pasti memiliki banyak cara dan strategi buat bahagiain kamu. *ehh...
Kehidupan yang serba mandiiri membuat para santri mau tidak mau harus mampu merevolusi mental yang dulunya tempe menjadi baja. Belum lagi aturan-aturan yang sangat membatasi hasrat untuk dolan, menuntut para santri harus pandai bersetrategi bagaimana bisa keluar dari rutinitas pesantren tanpa ketahuan keamanan. Jadi buat gadis-gadis yang membaca tulisan ini tentu paham, dari dulu santri itu sudah dilatih menyusun strategi. Maka pilihlah mantan santri menjadi pasangan hidup, karena dia juga pasti memiliki banyak cara dan strategi buat bahagiain kamu. *ehh...
Tapi santri bukanlah malaikat yang tanpa cela. Ada
satu kebiasaan buruk yang mewabah sudah dari zaman dahulu kala, yaitu fenomena ghosob.
Secara simpel,definisi ghosob yaitu memakai barang milik orang lain
tanpa permisi atau pinjem barang milik orang lain tanpa ijin si empunya. Semua
barang (terkecuali uang) bisa menjadi sasaran, dan biasanya yang paling sering
menjadi objek ghosob adalah sandal. Kalau tidak dijaga ketat bisa
bernasib celaka. Karena untuk sandal ini berlaku teori “Lengah sedikit, Sandal
raib”.
Sebagai seorang yang pernah mencicipi asam getir
dunia pesantren, saya mempunyai kisah tentang fenomena ghosob yang saya
alami sendiri. Ceritanya begini :
Saya pernah belajar di pondok pesantren Al-Munawwir
Krapyak, komplek Padang Jagad, Yogyakarta. Seperti santri lain pada umumnya,
saya meiliki seorang kiyai yang menjadi orang tua saya di pondok. Dan sudah sewajarnya seorang
santri menghormati Kiyai melebihi dari segala kehormatan yang dia miliki. Agak
lebay memang. Tapi memang demikian yang terjadi. Seorang santri kudu nurut apa
kata kiyai. Ini merupakan bentuk takdzim dan tirakat seorang santri dalam
mencari Ilmu.
Bahkan saya yakin jika seorang kiyai menyuruh santrinya terjun kedalam sumur tak berujung pun pasti meraka mau. Hanya saja seorang kiyai sejati tidak akan meminta santrinya terjun ke sumur. Jika ada seorang kiyai menyuruh saya demikian, saya tidak akan mau. karena dia bukan kiyai sejati. Santri dan kiyai itu seperti sepasang sisi mata koin, saling melengkapi. Santri bukanlah santri tanpa kiyai, dan kiyai belum layak di sebut kiyai jika tak memiliki santri. Seorang santri akan sakit jika kiyainya disakiti, dan kiyai akan lebih sakit lagi jika santrinya tersakiti.
Bahkan saya yakin jika seorang kiyai menyuruh santrinya terjun kedalam sumur tak berujung pun pasti meraka mau. Hanya saja seorang kiyai sejati tidak akan meminta santrinya terjun ke sumur. Jika ada seorang kiyai menyuruh saya demikian, saya tidak akan mau. karena dia bukan kiyai sejati. Santri dan kiyai itu seperti sepasang sisi mata koin, saling melengkapi. Santri bukanlah santri tanpa kiyai, dan kiyai belum layak di sebut kiyai jika tak memiliki santri. Seorang santri akan sakit jika kiyainya disakiti, dan kiyai akan lebih sakit lagi jika santrinya tersakiti.
Di pondok saya, terdapat sebuah rak tempat khusus menaruh sepatu dan sandal
milik santri. Meski wabah ghosob belum sembuh benar, banyak santri yang
tidak ragu menaruh sandalnya di situ. Selain itu di tempat saya mondok
kesadaran rasa memiliki dan menjaga barang cukup tinggi. Jadi kebanyakan santri
punya sandal sendiri. Atau jika ada yang ghosob, pasti tanggung jawab
dengan mengembalikan barang tersebut ketempat semula.
Saya sendiri pernah beli sandal empat kali. Namun sayang kesemuanya raib entah kemana. Sejak itu saya memutuskan untuk memakai (ghosob) sandal ala kadarnya sesuai yang tersedia di rak. Toh saya pakai sandal kalo di pondok paling Cuma mampir beli makan doang. Sedang kalau keluar (misal ke kampus) saya lebih memilih pake sepatu.
Saya sendiri pernah beli sandal empat kali. Namun sayang kesemuanya raib entah kemana. Sejak itu saya memutuskan untuk memakai (ghosob) sandal ala kadarnya sesuai yang tersedia di rak. Toh saya pakai sandal kalo di pondok paling Cuma mampir beli makan doang. Sedang kalau keluar (misal ke kampus) saya lebih memilih pake sepatu.
Lalu tibalah pada suatu hari dimana adik saya hendak potong burung (sunnat),
dan mengharuskan saya mudik ke kampung halaman. Waktu itu musim hujan. Jika
pulang memakai sepatu dan di jalan hujan, maka sungguhlah sangat tidak
mengenakan. Memacu sepeda motor dengan kaki lembab karena sepatu basah, lebih
menderita dari pada terbangun dari mimpi, saat hendak mimpi berciuman dengan Nabilah
JKT48. Jadi saya pikir lebih baik jika pulang pakai sandal saja.
Tapi mau pulang pakai sandal bagaimana jika sebuah sandal pun saya tak punya ?. Awalnya saya sempat berencana untuk membeli. Hanya saja di dalam rak sepatu, ada sebuah sandal yang sudah lama sekali tergeletak dan tak pernah ada yang menyentuhnya. Sebut saja namanya ‘Sandal X’. Modelnya bagus dan pas dikaki. Waktu dicoba, saya merasa kegantengan saya meningkat 8,5% jika memakai sandal X. Dari situ sudah saya putuskan untuk pulang memakai sandal tersebut. Karena saya pulang selama beberapa hari, tak tega saya untuk meng-ghosob ini sandal. Jadi tiap anak saya tanyain satu-satu, siapakah gerangan si empunya sandal ini?. Tapi ternyata tak ada satupun anak yang mengaku atau tau siapa pemilik sandal ini. Jadi tanpa pikir panjang, sandal ini saya bawa pulang.
Tapi mau pulang pakai sandal bagaimana jika sebuah sandal pun saya tak punya ?. Awalnya saya sempat berencana untuk membeli. Hanya saja di dalam rak sepatu, ada sebuah sandal yang sudah lama sekali tergeletak dan tak pernah ada yang menyentuhnya. Sebut saja namanya ‘Sandal X’. Modelnya bagus dan pas dikaki. Waktu dicoba, saya merasa kegantengan saya meningkat 8,5% jika memakai sandal X. Dari situ sudah saya putuskan untuk pulang memakai sandal tersebut. Karena saya pulang selama beberapa hari, tak tega saya untuk meng-ghosob ini sandal. Jadi tiap anak saya tanyain satu-satu, siapakah gerangan si empunya sandal ini?. Tapi ternyata tak ada satupun anak yang mengaku atau tau siapa pemilik sandal ini. Jadi tanpa pikir panjang, sandal ini saya bawa pulang.
Sepulang dari rumah sandal X saya taruh kembali ketempat semula dan tidak
ada yang menanyakan. Tiga hari saya biarkan dan masih tak ada satu orang pun
yang menyentuhnya. “Ah dari pada nganggur, mending aku pakai saja”,
pikirku. Sejak saat itu setiap hendak pergi kesuatu tempat saya selalu
memakai sandal X. Karena terlalu sering bersama, saya jadi merasa seolah
memiliki. Agak miriplah sama hubungan antara pria-wanita, yang kemana-mana
selalu gandengan tangan, merasa saling memiliki, tapi statusnya hanya sebatas
teman. Rasa memilik saya terhadap sandal X berjalan hampir selama dua bulan.
Hingga pada suatu hari di siang yang sepi, seorang teman saya yang baru
pulang dari kudus mendekat dan berkata.
“Fik, kemarin sebelum berangkat ke kudus saya pamit sowan dulu sama pak kiyai”. Kata
temanku.
“Lah terus??”
“Pak kiyai bilang ke saya suruh
hati-hati dan jaga diri baik-baik. Sebelum berangkat baca adzan & sholawat
terlebih dahulu, biar dijaga sama Tuhan selama di perjalanan”.
“Oh iya. Dulu saya waktu mau pamit pulang juga pernah di kasih wejangan gitu”, kata saya.
“ Terus ada lagi”, kata temanku
lagi.
“Apaan?”, Tanyaku penasaran.
“Pak kiyai nitip salam buat kedua
orang tuaku.”
“Terus udah kamu sampein salamnya?”
“udah kok."
"Syukurlah.....", Jawabku singkat.
Terus ada lagi fik”
"Syukurlah.....", Jawabku singkat.
Terus ada lagi fik”
“apa lagi???”
“ Pak Kiyai cerita, katanya sudah
hampir dua bulan ini beliau kehilangan sandal merek adidas”
Deeggggg. Sesaat waktu seperti melambat. Juga terasa sengatan-sengatan kecil yang
menyentak di dalam dada. Otaku menerawang jauh, mengingat-ingat apakah sandal X
itu bermerk adiddas??. Lalu teman saya melanjutkan.
“Pak kiyai juga bilang, katanya
sandal yang hilang itu di pakai kamu”
“ Faaakkkkkkkkkkkkkk.................................!!!!~~~~~~~**$$$$#######~~~~~
”
PS: “Sekampret-kampretnya seorang santri adalah dia yang meng-ghosob sandal milik
pak Kiyainya sendiri”.
~~~~`~~`*****Tamat****~~~~~~~
hahahaha.. menarik.
ReplyDeletebtw knapa harus Nabila JKT48?? haha
Hahaha. Saya juga tidak tahu kenapa. cuman saya khusnudzon, mungkin karena saya dan Nabilah JKT48 berjodoh. *ehh
ReplyDeletewkwkwkwkwkkwkwk :D santri teladan :D :v
ReplyDeleteBagus mas, fenomena ghosob tidak pernah lekang dari kehidupan Santri,
ReplyDeletekunjungi juga ghosob versi ane.
http://salamramadhon.blogspot.co.id/2015/03/ghosob.html