Sholat Tarawih itu Perjuangan
Salah satu yang membuat
bulan Ramadhan istimewa yaitu sholat Tarawih. Saya tak hendak membahas mengenai
keistimewaan sholat tarawih, karena yang seperti ini sudah banyak disampaikan
oleh ustadz-ustadz di televisi. Hanya saja, bagi sebagian orang sholat tarawih
merupakan salah satu moment yang paling ditunggu-tunggu.
Sewaktu SMP, saya termasuk
segelintir ABG muslim yang semangat menyambut sholat tarawih. Bukan karena saya
muslim taqwa idaman mertua. Bukan, bukan seperti itu. Sungguh baik sekali anda
jika berperasangka demikan. Biar anda
tak salah sangka, aku ceritakan kronologisnya. Jadi begini :
Semua pria ditakdirkan mencintai wanita sudah dari masa yang jauh sekali, bahkan jauh sebelum Chelsea Island dilahirkan. Jadi wajar saya sebagai pria normal, meskipun saat itu saya masih lucu-lucu nya (SMP), saya sudah menyukai seorang gadis di desa saya.
Semua pria ditakdirkan mencintai wanita sudah dari masa yang jauh sekali, bahkan jauh sebelum Chelsea Island dilahirkan. Jadi wajar saya sebagai pria normal, meskipun saat itu saya masih lucu-lucu nya (SMP), saya sudah menyukai seorang gadis di desa saya.
Adalah Embun (Nama saya
samarkan), salah satu gadis paling cantik yang tinggal di lingkungan saya. Kami
satu angkatan, tapi beda sekolah. Dia inilah yang membuat saya begitu antusias
menantikan sholat tarawih.
saat SMP, saya sekolah
dan tinggal indekos di kampung orang. Pulang kerumah hanya saat libur, dan saya
sangat jarang sekali berjumpa dengan Embun. Bisa ketemu hanya ketika dewi
fortuna merestui, semisal; saat berpapasan dijalan atau ketemu diwarung ketika
tengah disuruh emak berbelanja. Saya dulu juga merupakan pria polos yang
terlalu takut mengajak seorang gadis ketemuan.
Jadi hanya saat moment sholat tarawih sajalah saya bisa melihat Embun
setiap hari
Menurut survey yang saya
lakukan, kecantikan seorang perempuan meningkat hingga 30%, ketika mengenakan
mukena saat hendak/pulang dari sholat tarawih. Dan menyaksikan “Embun
bermukena” adalah salah satu keindahan
ciptaan tuhan yang tak bosan untuk saya pandangi. Inilah sebab utama saya semangat datang kemasjid berangkat
sholat Tarawih: Melihat si Embun yang cantik dengan mukena putih nya.
Ketika adzan isya di
kumandangkan, saya sudah siap dengan kostum taraweh, lantas saya menuju masjid,
namun masuk belakangan. Saya hanya berdiri di halaman masjid. Ketika Embun
datang, saya pandangi dari kejauhan. Setelah dia masuk, saya ikuti dari belakang.
dan sandal yang saya pakai, saya posisikan bersebalahan pas dengan sandal yang
dipakai Embun. Tapi biar Cuma sandalnya doang yang bersebalahan, yang saya
rasakan di hati itu begitu sesuatu, seolah jiwa dan tubuh kami yang tengah
berdekatan.
Di Masjid lingkungan saya
tinggal, jamaah laki-laki sholatnya dibagian dalam masjid, sedangkan jamaah
putri sebagian di dalam masjid dan sebagian di serambi. Antara jamaah putra dan
putri di bagian dalam masjid dipisahkan menggunakan satir. Namun, tidak semua
dari depan kebelakang tercover, hanya bagian depan saja yang tertutupi
sedangkan yang bagian-bagian belakang tidak.
Tapi Biarpun yang bagian
belakang tak tertutup satir, jamaah pria tetap tak mudah untuk memandangi
jamaah perempuan. Sebab masjid di desaku itu merupakan masjid yang besar dan
luas, serta ruang bagi jamaah laki-laki (yang dipisahkan oleh satir) lebih luas
dari pada ruang bagi jamaah perempuan. Dan
total jamaah laki-laki hanya bisa mengisi beberapa shaf (baris), tidak sampai memenuhi shaf dibagian belakang. Jadi sekali lagi
sangat-sangat sulit bagi jamaah laki-laki untuk melihat jamaah perempuan.
Ketika menjalankan sholat
Tarawih, hampir setipa hari Embun biasa menempati jamaah perempuan di bagian
yang tidak tertutup satir, dan saya juga sengaja datang agak telat agar bisa
dapat shaf di barisan paling
belakang. Tujuan saya, hanya mencari posisi yang paling setrategis untuk
sekedar melirik Embun. Ya hanya melirik, sebab saya tak cukup gila untuk
memandanginya secara terang-terangan ketika sholat tengah berlangsung. Emang
mbok padake raimu po...
Namun Jangan sebut saya pria
sejati, jika tak memiliki strategi lain. Masih banyak rencana yang bisa saya
lakukan untuk bisa menatap wajah Embun. Misal Ketika salam pada tahkyatul
akhir, saya berusaha mengerahkan putaran kepala saya semaksimal mungkin. Jadi
begini; Posisi Embun itu kan berada disebelah kiri jamaah putra. Jika pada
umumnya jamaah sholat, ketika menengok salam yang terahir (tengokan ke kiri)
sudutnya itu missal sebesar 90
derajat, maka tengokan yang saya lakukan itu sebesar 120 derajat. Ditambah bahu
sebelah kanan saya miringkan 30 derajat, dan pupil mata saya lirikan
genit kesebelah kiri sebesar 20
derajat. Jadi disetiap salam, total besar usaha tengokan yang saya lakukan
untuk sekedar menatap wajah Embun yaitu sebesar 170 derajat.
Ada juga satu lagi strategi
lain. Strategi ini juga merupakan jurus pamungkas dan jarang sekali saya
keluarkan, karena resikonya adalah malu berkepanjangan. Jurus ini hanya saya
keluarkan ,apabila berada diposisi kepepet atau benar-benar sudah merasa lelah
melakukan strategi yang pertama. Jurus pamungkas ini saya sebut dengan“
Jurus Salam Terbalik”. Cara kerjanya
begini; Jika lumrahnya salam pada Tasyahud akhir itu menengok ke kanan dulu
baru ke kiri, maka saya melakukan kebalikanya. Jadi pada saat Embun menengok ke
kanan, saya menengok ke kiri, dan ketika dia menengok kekiri saya menengok ke
kanan. Hehehe....
Sebuah usaha yang sepadan. Sebab mesti meguras tenaga, namun perasaan
bahagia selalu meyertai tatkala berhasil melakukanya. Dan sungguh hal yang
seperti ini sudah sangat jarang sekali saya temukan di duia yang kacau balau
ini, yaitu; Untuk apa memiliki, jika melihatmu saja aku sudah bahagia.
Duuhhhh Gustiiii…. Maafkan aku,,,, sholatku belum sepenuhya karena
Mu.
Comments
Post a Comment