Selamat Berjuang, My Little Bro......

Foto Adeku bersama dua orang temanya. Adeku yang paling kanan sendiri



Saya ini anak pertama dan hanya memiliki satu adik laki-laki, namanya Zidki. Jarak saya dan adik saya cukup jauh, 9 tahun. Tentu ada hal enak dan tidak enak jika jarak usia dengan adik cukup jauh. Enak nya, pertengkaran ala adik-kakak yang sudah melegenda bisa diminimalisir. Saya merasa lebih legowo untuk mengalah, meskipun terkadang seringkali saya menggunakan superioritas  sebagai kakak untuk memuluskan kepentingan saya.
Hah, salah siapa lahir belakangan. wkwkw.... dan masih banyak lagi.

Kalau tidak enak nya, saat saya masih smp dan adek masih sangat kecil, saya sudah harus memahami ilmu tentang “mengalah bukan berarti kalah”. Sebuah ilmu yang cukup sukar dikuasai oleh anak seusia saya kala itu, bahkan lebih sulit dari menguasai ilmu  sharingan Madara Uchia.

seringkali dia selalu pengen ikut kemanapun saya hendak pergi. Tentu hal ini tidak mengenakan. Sebab disamping adek yang masih begitu kecil, saya juga tidak bebas untuk pergi bermain. Jika saya tinggal, adek akan menangis dan merengek-rengek minta ikut. Alhasil, mamak meminta saya untuk tetap tinggal dan saya baru bisa pergi ketika perhatian adek teralihkan.

Atau saat tengah asyik menonton acara televisi, adek  tiba-tiba datang dan mengganti chanel seenak wudel nya. Belum lagi tingkahnya yang selalu pengen ikut ngrusuhin ketika saya tengah bermain PS. Tapi untuk yang terahir ini saya punya cara jitu yg sudah lumrah dilakukan kakak manapun diseluruh dunia, yaitu membiarkan adek memegang stik PS tapi ternyata ga di colokin. Haha



Curhatan derita seorang adik, hahaha

Adek  ini orangnya pemalu berat dan susah beradaptasi dengan orang-orang baru. Bicaranya sedikit, hanya seperlunya saja. Dulu saya juga demikian namun alhamdulillah kini berkat perjuangan yang tak mudah, saya kini bertransformasi menjadi orang yang lebih percaya diri dan mudah beradaptasi. Maksudnya, saya mengerti  bagaimana rasanya menjadi seorang pemalu ditengah-tengah orang asing. Saya pernah merasakan seperti apa rasanya menjadi pemalu dan ditinggalkan disebuah tempat antah berantah dengan lingkungan yang sangat baru.

Dan yang namanya seorang kakak , seberapapun bandelnya adek, pasti menginginkan yang terbaik untuknya, bahkan kalau bisa melebihi sgala hal yang telah dimiliki oleh kakak. Saya juga ingin suatu saat dia bisa keluar dari zona pemalu dan tak percaya diri.

Suatu hari setelah dia lulus SD, orangtuaku berencana menyekolahkanya di sebuah pondok pesantren di Wonosobo. Rencana ini sudah diungkapkan dari jauh-jauh hari oleh mamak, bahkan ketika adek baru kelas dua SD. Dulu saya bertanya-tanya “wong lulus SD aja masih lama kok udah disuruh mondok sekaran, pie to??”. Tapi belakangan saya tahu, bahwa ini sebenarnya merupakan trik dari mamak untuk mempersiapkan mental adek dari jauh-jauh hari.

Saat H-1 sebelum keberangkatan adek ke pondok, tampak sekali dari parasnya dirinya begitu menikmati waktu dirumah. jika biasanya dsetiap hari ia pergi maen bareng teman-temannya, kali ini seharian hanya dirumah dan mampir kerumah om. Cara bicara dan perlakuan om, tante, spupu, paklek, bulek dll pun terasa lebih hangat dibandingkan hari-hari biasanya.
***

Pagi hari menjelang keberangkatan, adek masih tidur, bapak dan mamak ngobrol diruang tamu. Bapak  bilang; “ Semalem saya mimpi ngater Zidki kesekolah. Ini anak belum juga berangkat, tapi udah bikin kangen saja”. Saya jadi mikir, ini saya yang hanya berperan sebagai kakak saja mau melepas adek kepesantren rasanya begitu berat, apalagi bapak n mamak yang berperan sebagai orang tua??.     

Kami berempat lantas berangkat menuju pondok pesantren. Setelah menyelesaikan seluruh administrasi pendaftaran dan sowan pak kiyai, kami lantas pergi ke kota wonosobo untuk membeli semua perlengkapan yang adek butuhkan selama mondok dan sekolah. Jarak dari pondok-kota hanya sekitar 15 menit jika ditempuh dengan sepeda motor.

Setelah segala keperluan terbeli, menjelang maghrib kami kembali ke pondok dan menuju kamar adek dimana ia bakal tinggal selama tiga tahun kedepan. Saat mamak tengah melipat dan menata barang-barang adek dilemari, saya bisa merasakan suasana haru terasa mulai merambati masing-masing dari kami. Saya, bapak n adek semua diam. Hanya mamak yang berbicara dengan penuh keibuan, memberi pesan-pesan moral kepada adek yang hendak kami tinggalkan.

Bapak beberapa kali bolak-balik masuk-keluar asrama. Dan saat yang ketiga kalinya dia keluar, saya cek ternyata ia hanya jalan mondar-mandir saja. Saya duga, sepertinya bapak ini tengah menahan sesuatu yang menohok-noohok di dalam dada. Tentu berat, seorang bapak harus melepas  anak  nya yang masih kecil di rantau. Rasa galau sangat jelas terpancar dari sorot mata dan raut mukanya.

Sedangkan mamak, dia tampak lebih siap lahir dan batin buat melepas anak bungsunya. Saya duga, ini karena mamak sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi momen ini dari jauh-jauh hari. Mamak sudah tau hari ini akan terjadi saat adeku masih begitu kecil, bahkan bisa jadi saat adek masih masih balita. Seringkali ia bilang ke adek begini meskipun saat itu adek masih sangat kecil; “besok kalo udah lulus SD mondok di pesantren ya. Biar pinter n tahu agama. Pinter ngaji n jadi anak yang sholeh”. ( Redaksi tepatnya saya lupa, tapi pkoknya bilang seperti itu lah).

Saya tahu, perkataan mamak demikan bukan hanya Cuma buat menguatkan mental adek, tapi juga buat menguatkan mental dirinya sendiri. Saat ia tengah menina bobokan, menyuapin, mengganti baju dan celananya, atau saat tengah nyebokin pantatnya yang berak sembarangan, dia sudah mempersiapkan diri suatu saat ia akan melepas anaknya yang satu ini di rantau.

Adzan maghrib berkumandang, lantas kami berempat jamaah di masjid. Setelah itu kami makan nasi goreng disebuah warung yang tak jauh dari pondok. Saat makan suasana sudah tak seperti tadi yang beku karna menahan haru. Kini suasana lebih hangat khas keluargaa bahagia.

Setelah selesai makan, kami kembali kepondok. Hanya saja kami tidak sampai masuk kamar, melainkan hanya sampai didepan gedung saja. Kami pamit kepada adek handak pulang. Adek hanya diam, tapi tampak jelas sekali dia menahan hasrat ingin mewek nangis. Mata bapak dan mamak tampak berkaca-kaca. Dadaku terasa ada sesuatu yang menggebu-gebu dan menyesakan.  Saat hendak masuk SMP saya dulu juga pernah merasakan posisi adek saya seperti ini. Dan sekarang saya sadar, bukan hanya yang ditinggalkan saja yang merasa sedih, tetapi ternyata  yang meninggalkan juga merasa nyesek yang begitu dalam.


Kami pamit. Adek belik kanan. Dan dengan langkah gontai yang terarah, dia membelakangi kami, melangkah menuju kamarnya di lantai tiga.






Take care your self, my little brother........

Comments

Popular posts from this blog

Dewa Amor Salah Sasaran??

Santri vs Sandal

Oh… Malas Semalas-Malasnya