Hanyalah Adzan




Sebenarnya cerita yang sedang kamu baca ini terjadi sudah cukup lama, namun baru sempat saya tulis sekarang. Bukan apa-apa. Untuk kelas seperti saya ini, menulis bukanlah perkara mudah. Saya perlu mencurahkan energi, waktu dan pikirkan yang fokus, serta butuh ilham dari tuhan untuk menentukan apa yang mesti saya tulis. Selain itu, membangkitkan hasrat menulis itu sama susahnya dengan membangkitkan hasrat cintamu kepadaku. Halahhh...... Apasihhh. sudah-sudah, intinya begini:

Saya ini punya pengalaman tinggal dilingkungan pesantren.
Salah satu keuntungan tinggal dipesantren yaitu, saya dan kawan-kawan seringkali diundang oleh orang-orang yang berkepentingan kerumahnya, untuk mengaji atau sekedar membaca wirid-wirid dan berdoa ditempatnya. Bukan dek, bukaaan. Ini bukan lah seperti yang kamu pikirkan. Abang tak pandai mengaji seperti yang kamu duga. Ini hanya pencitraan. Keadaan dan lingkungan lah yang membuat saya terlihat begini.

Suatu hari, seorang komandan TNI Angkatan darat tengah memiliki hajat/keinginan. Bapaknya si komandan tengah sakit dan dirawar disebuah rumah sakit. Namanya juga anak yang berbakti. Selain berikhtiar dengan mencari rumah sakit yang jos dan dokter yang kredibel, si Komandan juga berusaha melalui jalan spiritual yaitu dengan datang ke seorang Kiyai, memohon solusi untuk kesembuhan bapaknya. Singkat kata, pak Kiai tadi menyuruh santri-santrinya untuk membaca wirid dan doa-doa selama tujuh hari berturut-turut, di sebuah mushola yang dekat dengan markas si Komandan tadi. Kamu Ga usah tanya siapa santri-santrinya. Tau sendirilah.

Saat itu bulan puasa. Sesuai intruksi, kami tiba dimushola jam setengah lima sore, lalu membaca wirid & doa selama kurang lebih satu jam, dan baru selesai menjelang maghrib. Kami juga tak sendirian. Beberapa anak buah si komandan juga duduk bersama kami, ikut mendoakan. Setelah waktu maghrib tiba, salah seorang santri akan adzan, kemudian sholat berjamaah, lantas buka bersama. Tentu saja, semua menu buka bersama  yang lezat dan bergizi sudah dijamin oleh yang punyah hajat. Intinya, kami tinggal datang, nglakuin apa yang mesti dilakuin, lalu makan, abis selesai terus pulang. Begitu terus rutinitas kami selama seminggu.

Hanya saja yang jadi sedikit masalah, saya dan kawan-kawan mesti debat dulu untuk menentukan siapa yang  adzan maghrib. Saling tuding-menuding, tunjuk-menunjuk,dan suruh-menyuruh pun tak terelakan. Masing-masing dari kami maunya menyuruh orang lain untuk adzan, tapi ga mau jika disuruh adzan. Banyak alasan mengapa ini semua bisa terjadi. Bukan Cuma karena suara yang pas-pasan, tapi yakinlah, untuk melakukan sebuah kebaikan pasti ada saja perasaan malas yang timbul dalam diri kita. Masalah baru selesai setelah ada seorang yang mau jadi sukarelawan untuk adzan.

Dihari kelima, saat perdebatan mengenai siapa yang mesti menjadi muadizin terjadi, tiba-tiba seseorang menyuruh saya, sambil berteriak lantang “kamu saja fik yang adzan. Suaramu kan bagus tuh”. Mendengar perkataan temanku tadi, saya pun kaget, terhenyak dan berfikir. “Ya Tuhan..... dari mana dia bisa tahu kalo suaraku bagus???”.

Ehm.... jadi begini gaes. Sekarang saya mau jujur sama kalian. Sebenernya benar apa yang tadi temenku bilang, kalo saya punya suara yang cukup bagus. Cukup bagus untuk membuat kamu bilang, “Nyanyi satu  lagi mas. Eneng seneng denger mas nyanyi. Hati eneng jadi tenang”. Hanya saja selama ini saya merahasiakan bakat saya yang satu ini dengan tidak ikut X-faktor, Indonesian Idol, KDI atau D-terong dll. Apa, kamu penasaran seperti apa suaraku??? Baiklah, kalo kamu penasaran, kamu bisa kan bayangin Adam Levine nyanyi??. InsyaAllah suaraku sebelas duabelas sama dia. Haha

Pada intinya, entah bagaimana ceritanya tiba-tiba teman-temaku seoalah berkonspirasi dan bekerjasama, memaksaku untuk adzan. Mereka ramai-ramai mengroyoku dalam sebuah debat panas menentukan siapa yang layak menjadi muadzin. Ini menyebalkan. Pertarungan antara satu orang vs keroyokan bukanlah sebuah pertandingan yang adil. Aku kalah telak. akhirnya karena saya dipojokan terus menerus, dan merasa capek untuk membela diri, saya pun tak dengan terpaksa lantas memutuskan untuk adzan kali ini. Saat saya berdiri, mereka berteriak heboh dan bersahut-sahutan.
Santri 1: “wuiiiihhhh..... bung rofiiiiiiik”
Santri 2: “Awas-awas.... pak kiyai mau adzan”
Santri 3: “ MasyaAllahhh.....”
Santri Lainya : #%#^^&lhaflkhjfoiahfaoihfaljalkdshyusifdi (Intinya heboh sendiri)

Saat saya merapikan jas, membetulkan posisi peci dan berdiri tepat didepan mikrofon.
Santri 1: “Josss. anakya siapa sih??”
Santri 2: “khoiiiiir-khoiiiiirrrr! Mantaaaappp!!!”
Santri 3: “ Allahuakbaaaaaaarrrrrrrrrr....!!!!.”
Santri Lainya : #%#^^&lhaflkhjfoiahfaoihfaljalkdshyusifdi (Intinya heboh sendiri)

Saat saya membaca doa sebelum adzan, baru suasana menjadi agak kondusif. Yang tadinya heboh kini sepi, bagai pagi di kutub utara. Lantas kukumandangkan adzan, dan semua menjadi khidmat dan senyap. sesenyap di ruang angkasa.
Saya           : “Allahu Akbar, Allaaaaahu Akbaaaarrr”.
Santri-santri :  ...............

Saya           : “Allaaahu Akbar, Allaaaaaahu Akbaaaaaarrr”.
Santri-santri ...............

Saya           : “Asyhaduala ilaha illaAllaaaaaahhhh”.
Santri-santri ...............

Saya           : “Asyhaduala ilaha illaAllaaaahhh ...... HU AKBAAAAAAR”.
Santri-santri : "JAAANGGKRRIIIIKKKKKK!!!"


****TAMAT*****.

Comments

Popular posts from this blog

Dewa Amor Salah Sasaran??

Santri vs Sandal

Oh… Malas Semalas-Malasnya