Hanyalah Adzan
Saya ini punya pengalaman tinggal dilingkungan pesantren.
Salah satu keuntungan tinggal dipesantren yaitu, saya dan kawan-kawan seringkali diundang oleh orang-orang yang berkepentingan kerumahnya, untuk mengaji atau sekedar membaca wirid-wirid dan berdoa ditempatnya. Bukan dek, bukaaan. Ini bukan lah seperti yang kamu pikirkan. Abang tak pandai mengaji seperti yang kamu duga. Ini hanya pencitraan. Keadaan dan lingkungan lah yang membuat saya terlihat begini.
Salah satu keuntungan tinggal dipesantren yaitu, saya dan kawan-kawan seringkali diundang oleh orang-orang yang berkepentingan kerumahnya, untuk mengaji atau sekedar membaca wirid-wirid dan berdoa ditempatnya. Bukan dek, bukaaan. Ini bukan lah seperti yang kamu pikirkan. Abang tak pandai mengaji seperti yang kamu duga. Ini hanya pencitraan. Keadaan dan lingkungan lah yang membuat saya terlihat begini.
Suatu hari, seorang komandan TNI Angkatan darat tengah memiliki
hajat/keinginan. Bapaknya si komandan tengah sakit dan dirawar disebuah rumah
sakit. Namanya juga anak yang berbakti. Selain berikhtiar dengan mencari rumah
sakit yang jos dan dokter yang kredibel, si Komandan juga berusaha melalui
jalan spiritual yaitu dengan datang ke seorang Kiyai, memohon solusi untuk
kesembuhan bapaknya. Singkat kata, pak Kiai tadi menyuruh santri-santrinya
untuk membaca wirid dan doa-doa selama tujuh hari berturut-turut, di sebuah
mushola yang dekat dengan markas si Komandan tadi. Kamu Ga usah tanya siapa santri-santrinya.
Tau sendirilah.
Saat itu bulan puasa. Sesuai intruksi, kami tiba dimushola jam setengah
lima sore, lalu membaca wirid & doa selama kurang lebih satu jam, dan baru
selesai menjelang maghrib. Kami juga tak sendirian. Beberapa anak buah si komandan
juga duduk bersama kami, ikut mendoakan. Setelah waktu maghrib tiba, salah
seorang santri akan adzan, kemudian sholat berjamaah, lantas buka bersama.
Tentu saja, semua menu buka bersama yang
lezat dan bergizi sudah dijamin oleh yang punyah hajat. Intinya, kami tinggal
datang, nglakuin apa yang mesti dilakuin, lalu makan, abis selesai terus
pulang. Begitu terus rutinitas kami selama seminggu.
Hanya saja yang jadi sedikit masalah, saya dan kawan-kawan mesti debat dulu
untuk menentukan siapa yang adzan
maghrib. Saling tuding-menuding, tunjuk-menunjuk,dan suruh-menyuruh pun tak
terelakan. Masing-masing dari kami maunya menyuruh orang lain untuk adzan, tapi
ga mau jika disuruh adzan. Banyak alasan mengapa ini semua bisa terjadi. Bukan
Cuma karena suara yang pas-pasan, tapi yakinlah, untuk melakukan sebuah
kebaikan pasti ada saja perasaan malas yang timbul dalam diri kita. Masalah
baru selesai setelah ada seorang yang mau jadi sukarelawan untuk adzan.
Dihari kelima, saat perdebatan mengenai siapa yang mesti menjadi muadizin
terjadi, tiba-tiba seseorang menyuruh saya, sambil berteriak lantang “kamu
saja fik yang adzan. Suaramu kan bagus tuh”. Mendengar perkataan temanku
tadi, saya pun kaget, terhenyak dan berfikir. “Ya Tuhan..... dari mana dia bisa tahu
kalo suaraku bagus???”.
Ehm.... jadi begini gaes. Sekarang saya mau jujur sama kalian. Sebenernya
benar apa yang tadi temenku bilang, kalo saya punya suara yang cukup bagus. Cukup
bagus untuk membuat kamu bilang, “Nyanyi satu lagi mas. Eneng seneng denger mas nyanyi.
Hati eneng jadi tenang”. Hanya saja selama ini saya merahasiakan bakat saya
yang satu ini dengan tidak ikut X-faktor, Indonesian Idol, KDI atau D-terong
dll. Apa, kamu penasaran seperti apa suaraku??? Baiklah, kalo kamu penasaran,
kamu bisa kan bayangin Adam Levine nyanyi??. InsyaAllah suaraku sebelas
duabelas sama dia. Haha
Pada intinya, entah bagaimana ceritanya tiba-tiba teman-temaku seoalah
berkonspirasi dan bekerjasama, memaksaku untuk adzan. Mereka ramai-ramai
mengroyoku dalam sebuah debat panas menentukan siapa yang layak menjadi
muadzin. Ini menyebalkan. Pertarungan antara satu orang vs keroyokan bukanlah
sebuah pertandingan yang adil. Aku kalah telak. akhirnya karena saya dipojokan
terus menerus, dan merasa capek untuk membela diri, saya pun tak dengan
terpaksa lantas memutuskan untuk adzan kali ini. Saat saya berdiri, mereka
berteriak heboh dan bersahut-sahutan.
Santri 1: “wuiiiihhhh..... bung rofiiiiiiik”
Santri 2: “Awas-awas.... pak kiyai mau adzan”
Santri 3: “ MasyaAllahhh.....”
Santri Lainya : #%#^^&lhaflkhjfoiahfaoihfaljalkdshyusifdi (Intinya
heboh sendiri)
Saat saya merapikan jas, membetulkan posisi peci dan berdiri tepat didepan
mikrofon.
Santri 1: “Josss. anakya siapa sih??”
Santri 2: “khoiiiiir-khoiiiiirrrr! Mantaaaappp!!!”
Santri 3: “ Allahuakbaaaaaaarrrrrrrrrr....!!!!.”
Santri Lainya : #%#^^&lhaflkhjfoiahfaoihfaljalkdshyusifdi (Intinya
heboh sendiri)
Saat saya membaca doa sebelum adzan, baru suasana menjadi agak kondusif.
Yang tadinya heboh kini sepi, bagai pagi di kutub utara. Lantas kukumandangkan
adzan, dan semua menjadi khidmat dan senyap. sesenyap di ruang angkasa.
Saya : “Allahu
Akbar, Allaaaaahu Akbaaaarrr”.
Santri-santri : ...............
Saya : “Allaaahu
Akbar, Allaaaaaahu Akbaaaaaarrr”.
Santri-santri : ...............
Saya : “Asyhaduala ilaha illaAllaaaaaahhhh”.
Santri-santri : ...............
Saya : “Asyhaduala
ilaha illaAllaaaahhh ...... HU AKBAAAAAAR”.
Santri-santri : "JAAANGGKRRIIIIKKKKKK!!!"
****TAMAT*****.
Comments
Post a Comment