Latihan Menjadi Ayah
Bisa jadi, menjadi seorang ayah adalah salah satu salah satu hal yang paling di idam-idamkan oleh sebagian besar pria dewasa di dunia. Saya termasuk segelintir pria tersebut. Terkadang, saya suka membayangkan disuatu masa, tatkala saya telah menikah dan memiliki seorang anak.
Saat saya libur bekerja, saya dan anak saya yang masih berumur tiga tahun pergi kesebuah taman yang indah. Disana terdapat pasir-pasir, perosotan, ayun2an, papan keseimbangan, dan segala wahana yang biasa ada di taman bermain anak2, serta kebahagiaan.
Banyak juga
anak-anak lain juga yang menghabiskan waktu sore mereka di situ. Para orang tua
yang mengantar duduk dikursi-kursi panjang, menunggui dan melihat anak-anak
mereka dari jauh. Termasuk saya.
Saya seolah bisa
merasakan euforia menjadi seorang ayah.
Seseorang yang merasa begitu bahagia hanya karena melihat anaknya bermain dan
tertawa seperti itu. Seseorang yang merasa jiwa lelakinya terlengkapi setelah
dia lahir.
Saya lihat dari
jauh, anak saya yang lincah itu beberapa kali terjatuh dan terpeleset. Tapi dia
adalah jagoan seperti ayahnya. Setiap kali jatuh selalu bangun lagi. Tak
mengangis. Tak mengeluh. Hanya baju dan
celananya yang kotor.
Anak saya yang
jagoan itu, sesekali melihat kearah saya, melambaikan tangan dan berteriak
memanggil “Ayah... ayah....”. Begitu
dan seterusnya. Melihatnya, rasanya seperti melihat diriku yang lain dalam
wujud yang mungil, kecil, lincah, gagah dan tampan tentu saja. Ya
Allah.....hambamu pengen anak yang lucu-lucu.
Tapi, menjadi
seorang ayah juga harus siap dengan segala konsekuensi dan tanggung jawabnya.
Misal, harus selalu siap kapanpun untuk mengganti popok anaknya tatkala masih
belum bisa eek sendiri. Dan kamu nona tak perlu ragu dengan naluri ke-ayah-an
yang saya miliki. Kamu ga percaya?? Biar aku ceritakan salah satu pengalaman saya, mengenai latihan saya menjadi seorang ayah dari anak-anakmu kelak. Jadi begini:
Suatu hari, saya
dan tiga teman saya yaitu; Kopral, Qonita dan Anna pergi
kesemarang, Kami Hendak menjenguk ibunya qonita yang dirawat di rumah sakit. Oh
ya, Qonita ini sudah menikah dan membawa anak tunggalnya dalam perjalanan kali
ini, Sedangkan suaminya tak bisa ikut karena suatu kesibukan. Jadi total yang
berangkat ada lima orang. Sampai disemarang, kami tak langsung menuju rumah
sakit, melainkan istirahat terlebih dahulu di rumahnya kakaknya Qonita.
Setibanya dirumah,
kami mendapat kabar bahwa rumah sakit tempat merawat ibunya qonita ini
sangatlah ketat. Jam besuk hanya dua kali sehari dan tidak diperkenankan
membawa anak-anak dibawah usia 14 tahun. Ini menjadi masalah, sebab anaknya
Qonita masih berusia belum genap tiga tahun. Tak ayal, sebuah perundingan besar
pun terjadi. Adu argumen nan ilmiah dan disertai dalil-dalil pun tak terelakan. Akhirnya setelah melalui
berbagai pertimbangan, diambilah keputusan bahwa saya dan Kopral akan tetap
tinggal dirumah untuk menjaga anaknya Qonita. Sedangkan Qonita dan kawan-kawan
berkunjung kerumah sakit
Namanya juga juga
anak kecil. Saat mobil yang ditumpangi Qonita hendak meninggalkan kami, dia
menangis meronta-ronta ingin ikut. Saya yang menggendongnya kala itu, beberapa
kali terpaksa harus menerima cubitan-cubitan dari tangan mungilnya. Tapi Jangan
sebut saya calon ayah yang tangguh jika tak berhasil menenangkan dan meredakan tangisan
anak satu ini.
Oh ya hampir lupa.
Biar gampang, saya kasih tahu, anaknya Qonita ini bernama syarifah. Biasa
dipanggil Ifa.
Untuk menenangkan
ifa dari tangisan tidaklah mudah, tapi
tak membutuhkan waktu yang lama. Saya ajak ifa jalan-jalan muter komplek
menggunakan sepada motor matic. Diperjalanan
kami menemukan sebuah taman mirip seperti yang saya khayalkan tadi,
hanya saja berukuran lebih kecil, lebih sederhana, dan lebih sepi. Beberapa
anak-anak sudah ada disitu. Saat sepeda motor kami berhenti, Ifa dengan segara
berlarir menuju ke anak-anak yang tengah bermain tersebut dengan wajah penuh
hasrat ingin bermain. Tanpa rasa canggung. Tanpa rasa sungkan
.
Setelah sore, ifa
aku ajak pulang. Tak ada protes. Sampai dirumah, tibalah giliran Kopral untuk
menjaga ifa. Strategi Kopral lebih
sederhana lagi. Dia hanya mengajak ifa menonton televisi, yang kebetulan tengah
memutar tiga kartun berbeda secara berturut-turut. Aku tak tahu apa judul
kartunya, tapi yang jelas diputar di RTV.
Awalnya saya duduk diruang tamu sambil maenan hp
sendirian. Sholat ashar. Lalu kembali ke ruang tamu seperti sediakala. Namun karena
merasa sepi, saya pun menghampiri Ifa dan Kopral yang tengah asik menonton
kartun. Kami bertiga pun berjamaah khusyuk menonton apa yang ada di televisi.
Ikut terhanyut dan terbuai dalam cerita imajinatif si pembuat kartun Hanyut
Adzan maghrib
hampir berkumandang tapi ternyata kopral belum sholat ashar. Maka, sayapun
kembali menunggui Ifa seorang diri, tatkala Kopral menunaikan kewajibanya
sebagai umat musilim. Pada saat inilah, tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba Ifa
bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju arah saya, lalu memeluk dan
berdiri dipangkuanku. Tangan-tangan mungilnya dia kaitkan keleherku mesra.
Sekarang Ifa dalam posisi antara minta dibopong atau dipeluk. Saya balas
memeluk. Tiba-tiba sebuah bau aneh tercium. Sebuah bau yang tak asing namun
sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Belum sempaat saya menebak, Ifa
perlahan berbisik, “Pengen eek om”.
Faaakkkkk......
segera saja kupanggil kopral meminta bantuan.
“Pral. Ndang rene tulungi aku. Ifa meh
ngising iki. Koe rene karo gawake popok neng meja”.
“Yo sek sdilut. Tak ganti celono”. Kata kopral
Ifa segera kubopong
menuju WC. Kulepas celananya. Kubuka popoknya pelan-pelan. Tiba-tiba sesuatu
yang menyeramkan terjadi. Sebuah benda kecil berwarna kekuningan tampak menyolok
mata. Bau yang tadi nampak malu-malu, kini dengan brutal masuk dan menyiksa
hidung saya.
“Bajigurr ik. Taine wis metu Pral”. teriak saya lantang.
Dari ruang tamu tak ada jawaban. Hanya terdengar suara tertawa yang keras dan
panjang.
Popok yang berisi
kotoran ini kulepas hati-hati. Namun karena masih amaitir, beberapa glinding
tai jatuh kelantai. Alhasil, kami berdua pun membagi tugas. Saya membuang
popok, sedangkan kopral bertugas membersihkan lantai yang terkena ceceran tai
sambil menunggui Ifa yang tengah menuntaskan ritualnya.
Saat saya kembali,
kamar mandi sudah bersih. Ifa yang kini telanjang bulat, tengah jongkok diatas
WC sambil berpegangan ember yang ada didepanya. Kopral masih setia menunggui
Ifa dari samping pintu. Lantas kami berdua secara reflek tertawa, memikirkan
apa yang baru saja terjadi. Beberapa saat
kemudian Ifa berteriak, “Ooommmm
sudah.....”.
Saya dan kopral
hanya bertatapan. Hening. Kami sama-sama mengerti, bahwa untuk tugas yang
terahir ini diperlukan sebuah keberanian
dan keikhlasan yang besar.
“Ngene wae Pral. Biar adil, pie nek dewe pingsut (suit),
sopo sing kalah dua kali, iku yang harus nyebokin Ifa”. Usul saya.
“Oke, siap”.
“Deal loh ya. Omongane wong lanang ki dicekel loh Pral”.
“Iya-iya. Ayo ndang to. Rasah kesuen!”.
Akhirnya kami
beradu suit. Ini bukanlah suit sembarangan, Sebuah suit yang dilakukan oleh dua
orang pria, adalah layaknya duel agung antara dua orang kesatria. Ronde pertama saya yang
menang. Ronde kedua Kopral yang menang. Disetiap ronde polanya selalu sama.
Yang menang melakuakan selebrasi layaknya pemain sepakbola mencetak gol,
sedangkan yang kalah selalu misuh-misuh.
Sesuai peraturan,
siapa yang kalah dua kali, dialah yang harus menyeboki Ifa. Dan posisi kami
sama-sama kuat. Jadi diperlukan suit final untuk menentukan siapa yang menang.
Dironde terahir ini kami berdua semakin serius. Sebelum suit dimulai, kami
sama-sama berfikir keras, memilih mengluarkan Ibu jari, telunjuk, atau
kelingking. Setelah semua dirasa siap, kami berbarengan mengucapkan aba-aba,
lalu Suit final pun dimulai.
“Jaannncoooookkkkk....”. Teriak
kopral Meratapi kekalahanya. Telunjuk yang dia keluarkan, dihantam oleh ibu
jari jagoanku.
Aku menang. Layaknya seorang striker yang mencetak gol dimenit-menit akhir, saya melakukan seleberasi yang begitu emosional dan provokatif. Selanjutnya, kami berdua sama-sama tertawa. Bedanya, saya tertawa akan kemenangan, sedangkan kopral menertawakan kemalanganya. Ya, terkadang hal yang paling tepat untuk menyikapi nasib buruk adalah dengan menertawakanya.
Aku menang. Layaknya seorang striker yang mencetak gol dimenit-menit akhir, saya melakukan seleberasi yang begitu emosional dan provokatif. Selanjutnya, kami berdua sama-sama tertawa. Bedanya, saya tertawa akan kemenangan, sedangkan kopral menertawakan kemalanganya. Ya, terkadang hal yang paling tepat untuk menyikapi nasib buruk adalah dengan menertawakanya.
Sesuai kesepakatan,
kopral menghampiri Ifa dan menyebokinya. Kopral melakukan itu semua dengan penuh
kasih sayang dan naluri kebapakan. Melihat itu, hati saya semakin gembira. Nada
tertawa saya berubah, dari nada tertawa bahagia menjadi nada tertawa penuh
ejekan. Saya serasa tengah menari diatas penderitaanya. Mendengar nada tertawa
saya yang demikian, masih dalam posisi nyeboki Ifa, Kopral pun melirik saya, dengan sorot mata ingin membunuh.
(Bersambung....)
Comments
Post a Comment