Only Death Do Us Part
Semilir udara berhembus dari utara keselatan. Sepoi-sepoi angin
menggoyang ranting-ranting pohon dan dahan-dahan. Daun-daun berjoged, bergesekan,
menimbulkan alunan simfoni suara alam, yang gemanya hanya bisa di dengar oleh
mereka yang pendengaranya ditajamkan.
Malam kali ini adalah malam yang mendung. Sinar bulan tidak mampu
menembus tirai awan. Dilangit timur bulan hanya membuat rona kuning. Seekor
kupu-kupu yang datang dari antah berantah, Sendiri, tanpa pasangan, terbang,
menembus gelapnya malam.
Kupu-kupu hinggap sesaat disebuah batang pohon. Dilihatnya dari
jauh, pantulan cahaya memancar dari dalam sebuah bangunan. Kupu-kupu yang
penasaran, terbang menuju sumber cahaya. Pintu-pintu dan jendela bangunan
tersebut tertutup rapat. Tidak mudah bagi kupu-kupu untuk menyelinap masuk.
Tapi Maha benar janji Tuhan. Selalu ada jalan bagi siapa saja yang
mau berusaha menggapai cita-citanya. Setelah terbang memutari bangunan,
kupu-kupu menemukan sebuah celah, lalu masuklah iya kedalam bangunan. Didalam,
kupu-kupu masih diliputi rasa bingung. Banyak benda yang bergelantungan
dilangit-langit, dan semuanya memancarkan cahaya.
Sadar akan banyak pilihan dan tak ingin memilih pilihan yang
salah, kupu-kupu melakukan observasi. Dicarinya sumber cahaya yang paling
memiliki daya magic untuk membuatnya bertahan. Bukan sumber yang paling terang.
Bukan pula yang paling hangat. Melainkan sumber cahaya yang paling paling
membuatnya nyaman. Karena bagi kupu-kupu, yang ganteng/cantik akan kalah sama
yang bikin nyaman.
Setelah terbang kesana-kemari, pilihan kupu-kupu akhirnya jatuh
pada bola lampu disebuah ruang yang di huni dua manusia didalamnya. Dikepakan
sayapnya berulang-ulang, diputarinya bola lampu yang begitu menarik perhatianya
tersebut. Kupu-kupu merasa begitu bahagia. Baginya, ini adalah salah satu malam
terindah dalam hidupnya. Malam paling menggairahkan dalam hidupnya. Karena
cahaya yang ada dihadapanya ini, mampu membangkitkan energi hingga titik
maksimal.
Saat tengah asik menikmati kemenanganya, ada hal lain yang mencuri
perhatian kupu-kupu. Salah satu dari dua manusia penghuni kamar tersebut,
sedang duduk dan memegang hp. Alis dan dahinya mengkerut seperti ada sesuatu
yang tengah dipikirkan. Jika iya, itu pastilah sesuatu yang serius. Diamati
lagi dalam-dalam, kupu-kupu seperti familiar dengan wajah ini. Wajah yang
tampan, rambut keriting, dan tatapannya meneduhkan. Wajah ini mengingatkan
kupu-kupu pada sosok Rangga, karakter yang di perankan oleh Nicholas Saputra di
Film Ada Apa Dengan Cinta.
Ya....... benar sekali. Kupu-kupu tersebut tidak salah. Tentu saja
tebakannya benar, karena wajah yang
sedang diamati kupu-kupu tersebut adalah seorang bernama Rofik, yaitu diriku.
Malam itu, seekor kupu-kupu mendatangi kamar saya. Kehadiranya
membuat kamar ini lebih ramai, karena kini kamarku disinggahi oleh tiga
makhluk. Yaitu saya, teman saya, dan kupu-kupu. Waktu itu adalah malam yang
biasa. Malam dimana saya terlalu bosan karena tak melakukan apa-apa, tapi
terlalu malas untuk melakukan sesuatu. Tiba-tiba sebuah pesan masuk dari teman
saya bernama Ardian, bertanya “Fik, Jal
koe tekok Yoga pie kabare Zami??”.
Deg!. Hati saya menjadi khawatir. Saya ingat Salah satu kawan baik
saya, Mohamad Syafi’i Zamzami, hari ini melakukan operasi Batu Kandung Kemih. Usia
pertemenan saya dengan Zami memang belum begitu lama. Pertama kali saya
mengenalnya dua tahun lalu, saat kami mendaki Gunung Merapi dalam rombongan
yang sama.
Saya selalu yakin, proses bertemu kawan karib tak beda jauh dengan
bertemu calon pacar atau bahkan jodoh. Kita hanya perlu bertemu denganya,
sedikit ngobrol, setelah itu tingal menunggu akan adanya sebuah ‘klik’ dihati
masing-masing. Dan dengan segera kita akan tahu bahwa orang yang ada didepan
kita ini cocok dan satu frekuensi dengan kita. Hal itulah yang saya rasakan
saat bertemu dengan Zami. Saya tahu bahwa saya dan zami akan menjadi teman
dekat saat pertama kali bertemu.
Pesan Ardian meminta saya untuk menanyakan kabar zami kepada Yoga tak
saya lakukan. (Yoga ponakan Zami sekaligus temanku). Saya lebih memilih untuk
bertanya langsung kepada yang bersangkutan melalui aplikasi bbm. “lek zam, pie operasimu?”. Tanyaku, tapi
tak ada balasan. Lima menit kemudian kulilhat pesan tidak terkirim, hanya
centang. Saya ping! Beberapa kali hasilnya tetap nihil.
Hati saya jadi tak karuan. Kali ini kedua ponakan zami yang saya
kenal yaitu Yoga dan Silvi, saya tanyai. Pesan terkirim, tapi ditunggui
beberapa menit tidak ada balasan. Saya cek status Yoga dan Silvi di bbm. Status
yoga intinya mendoakan lek zami semoga operasinya berjalan lancar, tapi Silvi
tidak menuliskan status dalam baris-baris kalimat, melainkan hanya sebuah emot
icon orang menangis. Ya Allah.... apa yang terjadi???
Sambil menunggu balasan, fikiran saya flashbcak kebelakang. Ingatan saya secara otomatis menampiljan
Memori-memori pertemuan saya dengan Zami saat dia masih di Jogja. Sambil
memejamkan mata, saya seperti tengah
menonton replay kejadian-kejadian
terahir yang saya lalui bersama Zami. Saya ingat satu bulan yang lalu saat
tengah mampir ke kosnya, malam-malam untuk suatu keperluan, saya minta bantuan
Zami buat nerjemahin lagu ‘Syukur’ nya Opick feat Amanada dari bahasa indonesia
ke bahasa inggris. Saya ingat perdebatan kami dalam memilih kata-kata yang lebih
cocok secara makna dan sesuai nada. Saya ingat perdebatan kami malam itu
tentang mana yang lebih bagus antara film ‘The
Hunger Games’ atau ‘The Divergent’. Saya ingat curhatanya ingin segera pindah kos,
karena kamarnya yang lembab dan disiang hari begitu gelap. Saya hampir ingat
setiap topik yang kami bicarakan waktu itu, tapi tak pernah sekalipun dia
berbicara mengenai sakitnya.
Lamunan saya buyar karena dering hp berbunyi. Sebuah pesan masuk
dari sebuah grup di Whatsapp, bilang “Innallillahi
wa inna ilaihirojiun. Mohon doanya teman-teman semua. Telah berpulang ke
rahmatullah, sahabat dan kesayangan kita semua, Moh. Safi’i Zamzami. Semoga
Amal ibadahnya diterima dan diampuni dosa-dosanya. Mohon dimaafkan segala salah
yang mungkin disengaja dan gak disengaja supaya khusnul khotimah. Amiin ya
Rabb....”.
......
......
......
......
......
Beku.
......
......
......
Detik jarum jam di dinding masih berjalan, tapi waktu serasa
berhenti. Cuaca mendung diluar kini beralih kehatiku. Didalam hati ini seperti
ada gemuruh yang siap untuk meledak. Sayatan-sayatan kilatan kecil terasa
menyalak. Sesekali menggelegar. Mendengar kabar ini jauh lebih perih, lebih
ngilu dari pada mendengar gebetan yang ditikung teman sekalipun. Oh, ayolah
Tuhan, kenapa tidak para koruptor saja yang kau cabut nyawanya??
Teman-teman di grup mulai bereaksi. Mereka menanyakan ke validan
berita. Mereka masih butuh klarifikasi meskipun sumber berita datang dari
seorang yang tak pernah berdusta. Sedang saya hanya diam. Saya tak ingin
percaya. Saya masih menunggu jawaban dari orang lain, yaitu Silvi atau Yoga.
Dua menit kemudian pesan masuk dari Silvi datang. “Lek Yami meninggal mas.....”.
Duaaarrrrrrrhhhhhhhh....... gemuruh yang tadi susah-susah saya empet
kini meledak. Genangan air yang sedari tadi sudah menggenang di sudut-sudut
mata kini membanjir. Dalam posisi sepereti ini, sebuah tempat paling privasi
sangat saya butuhkan. Jika perlu yang
paling sunyi dunia. Tapi apa daya, saya hanyalah anak kos biasa. Maka Kamar
mandi adalah pelarian saya satu-satunya. Disitu saya tumpahkan segala emosi saya.
Saya luapkan segala perasaan melalui tangis, sambil diiringi kenangan-kenangan
saya dengan zami yang datang sepotong-potong dan bertumpuk-tumpuk.
Agar ritualku mengikhlaskan Zami kali ini tak mengganggu
kenyamanan orang lain, saya buka keran air deras-deras, sehingga gemuruhnya
bisa menyaingi pekik-pekik tangisku yang tertahan. Menangislah! Karena air mata
bukan sebuah kelemahan tetapi bukti bahwa kita masih memiliki perasaan.
Dalam rangka menenangkan diri sendiri, kuajari diriku; “Hidup Zami bukan milik orang-orang,
melainkan milik-Nya. Zami pergi di usia muda, itu karena Allah sayang banget
padanya. Zami itu orang baik dan sangat sangat sangat baik, insyaAlah matinya
juga khusnul khotimah. Ga usah ditangisi, sebab yang abadi dari sebuah
pertemuan hanyalah perpisahan”.
Meskipun demikian, usaha ini tak banyak
menolongku. Saya tetap dirundung duka karena Zami kini telah berpulang.
Saya teringat perkataan Zami dalam sebuah pertemuan di Great Community.
Komunitas ini adalah komunitas yang fokus pada pengembangan bahasa inggris
terutama dalam hal speaking, dan
memiliki agenda rutin pertemuan seminggu sekali. Dulu saya hampir tidak pernah
absen disetiap pertemuanya. Tapi akhir-akhir ini karena sesuatu hal, saya tak
bisa ikut. Dan di keikutsertaan saya yang terahir di Great Community, saya
ingat waktu itu temanya adalah Deep
Question of Life, dan Zami bilang; “I
was born where everyone smile and i was the only one who crying. So i want to
die where everyone cry and i’m the only one who smiling.” Dan Rabu tanggal 23 maret kemarin, apa yang dikatakan Zami beneran terjadi. Kita semua menangisi kehilanganya. Rest In Peace Zami, my beloved brother.
Insya Allah Khusnul Khotimah Kang Zami,
ReplyDeletelahu al-fatehah