Cerita Dari Surabaya Part-II (Selesai)




Ini adalah sambungan dari cerita sebelumnya. Biar lebih mudah memahami alur ceritanya, monggo baca Cerita Dari Surabaya Part-1 di sini.

***

Lomba News Anchor Hunt berakhir jam dua siang. Karena tak tahu hendak pergi kemana, selesai lomba aku langsung mengikuti acara kompas-kampus berikutnya. Ada workshop jurnalistik, workshop radio, kamera drone dan hal-hal yang berbau broadcast lainya. Jam lima sore, para mahasiswa universitas airlangga mulai memadati gedung. wajar sih, sebab para komika jebolan SUCI Kompas tv hendak beraksi. Ada Dzawin, Pras Teguh, Yudha Keling dkk beraksi dan berhasil memecah tawa para penonton, termasuk aku.

Saat acara berahir dan orang-orang mulai meninggalkan ruangan, aku masih duduk mematung. lama-lama isi ruangan makin ditinggalkan banyak orang.
Mereka semua kembali kerumah masing-masing, mandi, kemudian makan malam yang sudah tersedia di meja makan, dengan menu bergizi+kehangatan suasana keluarga. Setelah ngantuk, mereka pun tidur dikasur dan bantal yang empuk serta selimut yang hangat.

Sedangkan aku hanya duduk dan melamun, ditemani para panitia yang tengah sibuk beres-beres pasca acara. aku baru tersadar dari lamunan saat teringat belum sholat maghrib. Segera saja kuhampiri salah satu panitia, wanita yang cantik jelita, lalu kubilang "Mbak, maukah kamu menjadi makmum ku....???? ~~~~~~~`

***

Seharian beraktivitas membuatku begitu lelah dan capek. Rasanya tubuh ini begitu rindu berbaring. Sempat terfikir untuk kembali ke masjid X sekarang, namun tak ku urungkan. Soalnya mau ngapaen coba balik kemasjid abis maghrib gini? paling juga masjidnya masih dipake ngaji. So, aku putuskan untuk pergi mencari warung makan yang enak dan tempatnya bagus.

Setelah berjalan beberapa menit, akhirnya akhirnya kutemukan sebuah warung makan lesehan yang sesuai dengan yang kuharapkan. Menu makananya sih standar, tapi disitu ada Tv, musik, dan colokan. Entah kenapa, hal yang terahir ini menjadi begitu penting saat ini. aku juga tak tahu mengapa. Tapi aku yakin, colokan menjadi penting itu karena colokan itu seperti wanita, mempunyai lubang yang akan memberikan suatu energi jika dimasukin sesuatu. (NGOMONG APA SIH????!!!!)

Aku baru beranjak dari warung jam setengah sepuluh mlama. Sebenernya sih masih pengen lebih lama lagi, namun mata ini sudah sayup-sayup memaksa untuk tidur. Diperjalanan menuju masjid X, sebuah pesan masuk dari teman yang baruku kenal tadi siang yaitu Ari Wibowo. Dia juga salah satu peserta News Anchor Hunt dari Malang. Pesanya begini "Bro, kamu dapat sms dari Kompas Tv ga? Temenku ada yang dapet sms, dia dikasih tau kalo dia lolos ke Final. nah kalo kamu gimana?" .

Aku balas sms nya dan kuberitah jika aku juga ga dapet. Dari situ aku tahu bahwa perjuanganku mengikuti News Anchor Hunt kali ini, berhenti sampai sini. Intinya aku kalah. Agak gelo rasane memang, memngingat sudah kutempuh perjalnan yang cukup jauh dari Jogja sampai Surabaya. Tapi meski kalah, layaknya seorang jagoan, aku berusaha tetap tegar dan optimis bahwa langkahku sejauh ini tidaklah sia-sia.

Mendapat sms mengenai kekalahan, dikala tubuh begitu letih dan lesu adalah hal yang menyebalkan. Bayangan akan gemuruh tepuk tangan dan besarnya rupiah yang bisa dibawa pulang jika menang, sempat terlintas dikepala, dan justru membuat hati ini mak jleb-jleb. Tapi ya sudahlah.... mungkin masih belum rejeki.

Aku sampai di depan pintu gerbang masjid X dalam kondisi tubuh begitu letih dan mental agak down. Tak sabar rasanya ingin merebgahkan tubuh dan segera mengembara ke alam mimpi. Sebelum masuk kemasjid X, kusempatkan untuk membeli autan diwarung depan masjid. Setelah itu baru kembali kedepan gerbang, dan dengan hati-hati kubuka pintu gerbang. Greg-greg,Greg-greg. "Waduh, kok ga bisa dibuka??". Kucoba sekali lagi. Greg-greg, Greg-greg. "Iki piye to?????!!!". Kubuka sekali lagi dan kali ini lebih keras. Gdubraggreg-Gdubraggreg, Gdubraggg-Gdubregggg.

"JAAAANC***KKK, GERBANGE DIKUNCI!!!!!"

******

Kini semakin lengkap nestapaku. Mimpi-mimpi untuk segera berbaring dan tidur nyenyak sirna sudah. Hanya pisuhan-pisuhan saru yang bisa sedikit mengobati kekesalanku. Sadar tak ada peluang untuk untuk bermalam dimasjid X, Kuputuskan untuk mencari masjid-masjid yang lain.

Hanya saja, tak mudah untuk menemukan masjid yang bisa kujadikan tempat untuk bermalam. setelah mencari kesana-kesini, hanya kutemukan dua masjid yang semua gerbangnya dikunci. Kampret memang.

Tengah malam di sebuah kota yang belum aku kenal, aku berjalan seorang diri. Deru kendaraan melaju cepat-cepat melewatiku. Aku sempat berkhayal, seandainya ada tante-tante singel mengendarai mobil sendirian, dan menawariku tumpangan, dan dibawa aku kerumahnya untuk bermalam, Ahaiiii.

Berpergian nggembel seorang diri seperti ini merupakan yang kedua kalinya buatku. Yang pertama kali waktu ke Malang, hanya saja dulu tidak se ngenes seperti ini. Sesaat aku seperti merasa kapok tak mau seperti ini lagi.

Selama berjalan daril ampu merah ke lampu merah, dan dari gang ke gang, tak kutemukan tanda-tanda adanya sebuah masjid pun. Tiba-tiba ku dengar suara deru kendaraan yang begitu kasar dan berbeda dari yang lainya. Weerrrr-Weeerrrrr...... saat ku tengok, ternyata sebuah becak motor sedang melaju kencang dari belakangku. Saat mendekat, bapak tukang becak melihat kearahku dan segera saja kukasih tanda bahwa aku tak ingin naik becaknya. Si tukang becak pun berlalu.

Setelah berjalan melewatiku, tiba-tiba becak itu berhenti sekitar duapuluh meter didepanku. lalu ketika aku mel0watinya, bapak tukang becak bertanya kearahku dengan logatnya yang khas suroboyonan dan agak cedal.

"Awep handi le, (Maksudnya Arep nandi le)?? ".

"Ga tau pak. Aku cari Masjid buat istirahat". Jawabku.

 si bapak ini malah bingung, lalu kukatakan bahwa aku datang dari jogja dan kuceritakan mengenai tujuanku kesurabaya sampai akhirnya aku terdampar seperti ini secara singkat. mendengar ceritaku, bapak ini lalu bilang,

"Wis, melu aku "

"Mau kemana pak???" Tanyaku

" Hanti  Idurll dzi masjidku ajah (Nanti Tidur di masjidku saja)" kata bapaknya.

 aku masih belum paham, tapi kedengaranya bapak ini seperti mau menolong. lalu kutanyakan berapa tarifnya, dan bapak ini hanya bilang,

"Hwis sing fenting melu akuh ae (Wis sing penting melu aku wae)". dan kemudian segera saja aku naik ke atas becaknya.

***

Namanya bapak Sidik, berprofesi sebagai tukang becak sekaligus menjadi tukang bersih-bersih di sebuah masjid di surabaya. Dimasjid itu juga lah dia tinggal. Hanya itu yang bisa aku tahu. Saat mengantarku, pak sidik ini yang lebih banyak bertanya tentang diriku.  Awanya sempat ada sih sedikit kecurigaan dibenaku, tapi mengingat aku yang juga lagi butuh pertolongan, akhirnya dari pada suudzon aku lebih memilih khusnudzon.

Aku begitu merasa bersyukur ada orang yang bersedia memberiku tumpangan dan gratis. selain itu juga karena aku bisa menikmati suasana kota Surabaya dimalam hari. Salah satu kota terbesar di Indonesia ini begitu tampak menawan. Romantisme ‘Cak-Cuk atau Juancuk’ yang menjadi ciri khas orang surabaya, begitu manis didengar telinga. Satu lagi yang melekat dari orang surabaya adalah suka memanjangkan kata untuk suatu hal yang hiperbola. Misal, saat saya dan bapak sidik ini ngobrol  tentang Cak Nun. Pak Sidik dalam mendefinisikan betapa cantiknya istrinya Cak Nun, maka sekedar "Sangat Ayu" saja tidak cukup, melainkan harus "Uuuuuuaaaayuuuuuuuu Sorooooooooo!".

Sedikit gambaran tentang Bapak Sidik, usia beliau sekitar 60-70thn. Kulit kehitaman, berkumis kaya Kapitan Patimura (yg di uang seribuan), seneng ngobrol tapi gaya bicaranya cepet dan sedikit cedal, jadi untuk memahami apa yg dia bicarakan harus bener-bener fokus. Saya sendiri lebih sering mangguk-mangguk atau bilang iya-iya saja, meskipun tak tahu betul apa yg sedang dia bicarakan. (sebenernya saya punya beberapa foto beliau yg saya ambil gambarnya dulu. tp Hp saya kecemplung laut, dan file2 termasuk foto2 tak berhasil diselamatkan)

Akhirnya sampai juga kami di Masjid Al-Liim (sebut saja begitu, cz aku lupa nama masjidnya. hehe). Masjidnya gede, bersih, dan kamar mandinya kinclong. Setibanya disana saya langsung mandi, sholat isya dan naik ke lantai dua mengikuti inturksi pak sidik. Disitu hanya ada satu kasur lantai kecil yang cukup hanya untuk sau orang, dan bapak Sidik memaksa saya untuk segera istirahat dan tidur disitu.

La bapak tidur dikasur mana?”. Tanyaku

“Hampang. Aku mauh narwik agih (Gampang. Aku mau narik becak lagi)”.

Ya Allah….Berjuta terimakasih tak terucap dari saya untuk pak sidik. Inginku beri beliau sedikit rupiah sebagai ucapan terimakasih, namun uang di dompetku udah begitu tipis. Akhirnya setelah menghitung sisa budjet untuk sampai jogja kembali, kuputuskan untuk memberi sedikit sisa uangku kepada pak sidik. Ya minimal buat bantu beli bensin lah. Sesaat sebelum pak Sidik memacu becak motornya, kupanggil beliau dari atas.

Tunggu bentar pak”. Lalu kuhampiri beliau

Adah appah le??”

“Ini pak, buat bantu beli bensin. Maaf pak Cuma bisa ngasih segini doang”.Kusalami tanganya sambil kuselipi uang didalamnya. Pak sidik sesaat hanya terpaku dan memandangiku dengan mata (agak) berkaca-kaca, Lalu  bilang

 “Hesok ooe meh nengh stasiun Ham pilrroh? Akuh anterhz ampeh terminalz, soale adohz. (Besok koe meh neng stasiun jam piro? Aku anter sampe terminal, soalnya jauh).

Mendengar pak sidik menawari aku begitu, giliran aku yang terpaku, mungkin juga dengan mata yang berkaca-kaca. Thanks God. Thanks pak Sidik…..

***

Aku terbangun karena alarm pukul setegah enam pagi, dan kulihat pak sidik tertidur di diatas karpet sajadah masjid, dan sudah berkostum sholat ( pake sarung+peci). Melihat beliau tidur membuat hatiku mak krenyes-krenyes. Rasa iba bercampur haru menyerang dadaku. Padahal posisi kasur sebelumnya sudah ku ubah menjadi horizontal, sehingga meskipun hanya sebagian tubuh yang bisa tidur dikasur, setidaknya bisa dibuat tidur bersebelahan. Tapi pak sidik ternyata memilih tidur di karpet

Gambar pak Sidik saat tertidur. Foto ini satu-satunya yang masih kupunya. Foto-foto beliau yg lain lenyap bersama Hpku yg dulu mati tak terselamatkan dihantam air laut.


Segera ku ambil wudhu dan sholat subuh. Jam enam pak Sidik bangun, dan setelah aku selese mandi, jam setengah tuju pak sidik mengantarku menuju terminal, dan dari terminal kemudian aku naik angkot menuju setasiun.

Ditengah perjalanan, pak sidik bertanya kepadaku. “Koe ngeleh le??” .Belum sempat aku menjawab, beliau sudah melanjutkan “Ayo nggolet mangan sing murah”.

Kami sampai disebuah perkampungan yang searah dengan terminal. Disitu becak motor pak sidik sempet ngadat, dan mengharus kan pak sidik menggeber-nggeber motor ditengah-tengah perkampungan. Wwweerrrrrrdddd-Weeerrrrrdddddd…..1000x. Orang-orang melihat kearah kami, namun mereka cuek-cuek saja. Sepertinya mereka sudah kenal pak sidik.

Setelah becak agak beres, kami berhenti didepan sebuah warung makan sederhana. dari luar warung pak Sidik berteriak "Gawek ke aku Soto Mur (Nama penjualnya Bu Murti)!".  Aku masuk lebih dulu dan pak Sidik memarkirkan becak diseberang jalan. Ibu-ibu penjual menyambutku dengan ramah. Melihatku membawatas carier dan naik becak, bu Murti langsung tahu saya hendak pergi kesuatu tempat

"Mau kemana mas?" Tanya bu murti setibanya disana.

"Mau kesetasiun Gubeng bu. Tapi ini mau keterminal dulu".

"Oalahhhh.... Pak Sidik ki emeng sak penake dewe kok. Wong penumpang mau ke Setasiun kok malah disuruh nunggu makan dulu. Gapapa yo mas, wong pak Sidik ki wonge emang rodo Gendeng kok".

Ooops..... Jadi gini gaes. Dikiranya itu, aku seperti penumpang yang lainya yang kalo naik becak mbayar. Paadahal bu Murti ga tau kalo sebenarnya pak Sidik yang menolongku dan memeberiku tumpangan gratis.

Tapi mendengar itu aku jadi sadar, bahwa hanya orang 'gendeng' saja yang bersedia menolongku dan memberiku tumpangan dimalam itu. ini sebuah keniscayaan. dari semua tukang becak yang saya jumpai kala itu di Surabaya, hanya pak sidik 'gendeng' yang mau menawariku bantuan dan tumpangan.  dan juga justru banyak orang yang mengaku dirinya 'waras', seringkali 'menggendeng-gendengkan' orang lain, padahal dirinya tak tahu bahwa mungkin dirinya itu lah yang sebenernya gendeng.

Selese makan, saya sebenarnya bermaksud mentraktir pak Sidik kali ini. Kalo duitku nanti kurang buat pulang gampanglah, pikirku. Tapi melihatku hendak membuka dompet dari dalam tas, pak Sidik langsung melarangku, dan dengan segera dia mengeluarkan uang dari dompetnya dan mentraktirku. lagi-lagi aku tak enak hati, dan hanya bisa berucap terimakasih. Setelah itu pak Sidik bercerita sedikit mengenai pertemuan kami.

"Akuh mambengi nemu cah iki neng dalan", kata pak Sidik sambil menunjuk kearahku. Aku tersenyum. lalu beliau melanjutkan; "Seko adoh aku weruh ono cah nggowo tas gede, mbengi-mbengi kok mlaku dewe. Pas wis cedak trus tak delok raine, langsung aku ngerti, Weh nek cah iki wong susah mesti".

Busyeetttt..... hahaha, ya ampun pak Sidik. bapak ini loh,,,,

Rasa kaget, pengen ketawa, kagum, lucu dan haru bercampur aduk menjadi satu. Kalo boleh berpendapat, melihat kondisi pak Sidik, bisa jadi kehidupan beliau lebih sulit dari kehidupanku. Dilihat dari isi dompet saja, kala itu aku masih punya uang enampuluh duaribu- cuma pas buat beli tiket pulang- sedangkan pak sidik hanya Tigapuluh limaribu rupiah didalam dompetnya. (aku tau soalnya ngintip waktu pak sidik ngluarin duit hendak mentraktirku). Tapi pak sidik ini kekeh mentraktirku.  Satu yang aku pelajari, beliau ini masih bersedia menolong orang lain yang lagi susah, dikala dirinya sendiri masih kesusahan. Salut aku sama njenengan pak.

Selesai makan, aku diantar pak sidik sampai diperempatan lampu merah sebelum terminal. Dari terminal aku masih harus berjalan kaki sekitar seratus meter. Sebelum berpisah, kami sempat berpelukan. dan lagi-lagi hanya ucapan terimakasih yang bisa ku berikan.


Akupun berjalan menuju angkot disebrang sana. Aku begitu berterimakasih kepada Tuhan, Surabaya dan Pak Sidik yang sudah memberiku sebuah cerita di kota 'Jancukers' ini. Sesaat sebelum memasuki terminal, aku menengok kebelakang, dan mendapati pak Sidik masih berdiri dengan becaknya ditempat kami berpisah tadi. Beiau mengamaitku seolah hendak memastikanku baik-baik saja. Dan dari seberang sana, pak sidik melambaikan tangan. Thanks a lot Pak Sidik...........

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Dewa Amor Salah Sasaran??

Santri vs Sandal

Oh… Malas Semalas-Malasnya